Cerpen: Gestok dan Loyalitas Seorang Pria


Gestok dan Loyalitas Seorang Pria merupakan true story yang ditulis untuk melihat sisi lain dari sejarah bangsa ini. Kisah nyata ini menggambarkan kejadian yang terjadi di sebuah desa kecil di pulau dewata. Kisah seorang pria yang terlupakan oleh catatan sejarah.

——————————

Gestok dan Loyalitas Seorang Pria

Oleh : Komang AKG

“Sebaiknya bli cepat pergi. Bli pulang saja ke Nusa Ceningan bersama istri dan anak-anak bli!” Saran Made Suratnya ketika mengetahui kalau Wayan Jetan belum juga meninggalkan Desa Melaya.

“Trimakasih De, tapi bli sudah melihat kalau bli akan mati disini.” Kata Wayan Jetan memastikan kalau dia benar-benar sudah siap mati.

Made Suratnya semakin panik mengetahui kakak sepupunya benar-benar bersikeras tidak mau meninggalkan Desa Melaya. Padahal pada rapat di banjar kemarin pagi, dipastikan bahwa besok subuh akan dilaksanakan eksekusi mati besar-besaran bagi setiap orang yang dicurigai simpatisan ataupun ditengarai ada hubungan dengan partai pemberontak yang induknya sudah hancur di pusat pemerintahan.

Wayan Jetan melanjutkan perkataannya, “Seperti yang pernah bli katakan. Bli akan pergi kalau Pak Gredek ikut dibiarkan pergi bersama bli. Beliau orang baik dan tidak pernah berhubungan dengan politik.”

“Tapi bli juga sudah tahu kan kalau mereka yang memutuskan eksekusi ini tidak benar-benar berdasarkan kesalahan?” Tanya Made Suratnya mengingatkan.

Dalam rapat aktivis untuk menentukan eksekusi mati bagi para pemberontak yang diikuti Made, jelas dikatakan bahwa target pembunuhan mereka adalah orang-orang kaya dan para tuan tanah. Tujuannya adalah untuk menjarah kekayaan serta tanah mereka setelah mereka tewas dieksekusi. Sebenarnya, kadang Made juga ingin menentang tujuan pembunuhan yang layak disamakan dengan perampokan itu. Namun, jika itu dia lakukan maka sama artinya dengan menyuruh untuk mengeksikusi mati dirinya terlebih dahulu.

“Ya. Karena itulah bli siap mati disini De.” Jawab Wayan Jetan.

Katanya lagi, “Jika kamu ingin selamat dan siap hidup di atas mayat orang-orang yang tidak bersalah, maka kamu saja yang mengikuti mereka. Asal kamu ingat dan siap menerima karma phalanya nanti.”

Melihat kakak sepupunya mulai marah dan menyindirnya, Made Suratnya segera pergi kembali kerumahnya.

Malam hari, menjelang hari eksekusi mati besok subuh. Di dalam bilik rumahnya yang sederhana, Wayan Jetan berbicara kepada istri dan adik laki-lakinya disaksikan oleh keempat putrinya. Anak pertamanya berumur tujuh tahun, namanya Wayan Swara, dia tuli sejak lahir. Anak kedua yang duduk manja di pangkuan ayahnya, berumur lima tahun dan bernama Made Pariani. Bocah kecil itu tidak mengetahui pasti bahwa ini adalah kali terakhir dia dipangku sang ayah. Anak ketiga yang digendong oleh istrinya berumur tiga tahun. Sedangkan anak keempat yang belum cukup satu tahun sudah tertidur di atas ayunan sarung Wayan Jetan.

“Bli akan pergi duluan. Setelah itu adalah tugasmu untuk membantu kakak ipar merawat kemenakanmu Man.”, Pesan Wayan Jetan kepada Nyoman Kunul adiknya yang masih berumur sebelas tahun.

Wayan Jetan melanjutkan, kali ini kepada istrinya, “Jika nanti bli mati. Nyai sebaiknya menikah lagi. Semoga ada orang baik yang mau menerima nyai dan memberi makan anak-anak kita.”

“Apakah bli harus mati?” Tanya istrinya sambil menyeka air mata.

Wayan Jetan memandangi istrinya, “Jika Pak Gredek mati, maka bli juga harus ikut mati. Nyai tentu masih ingat. Pak Gredek adalah orang baik yang sudah mau menampung kita selama ini. Kita datang ke Desa Melaya ini karena melarikan diri dari keluarga yang tidak menyetujui pernikan kita..”

“Ya. Aku tidak mungkin lupa.” sela istrinya.

Beberapa tahun yang lalu Wayan Jetan datang ke Desa Melaya bersama istri yang baru dinikahi. Mereka pergi dari rumah dengan julukan pasangan kawin lari. Mereka datang ke Desa Melaya tanpa membawa barang apapun selain pakaian yang melekat di badan. Hanya bermodal nekat, mereka mendatangi Pak Gredek, orang kaya di desa itu. Dengan bersimpuh mereka memohon supaya diberi pekerjaan demi mendapatkan sesuap nasi dan menyambung hidup mereka.

Pak Gredek ternyata orang kaya yang baik budi. Tidak tanggung-tanggung, Wayan Jetan diberikan satu hektar kebun kelapa untuk digarap dengan sistem bagi hasil. Bahkan untuk hari-hari awal mereka diperkenankan tinggal bersama di rumah Pak Gredek.

Hingga waktu berlalu dan pasangan suami istri itu membangun rumah sederhana serta dikaruniai empat orang anak perempuan di kebun kelapa Pak Gredek. Beberapa tetangga dan kerabatnya dari Nusa Ceningan mulai berdatangan ke Desa Melaya. Bahkan orang tua Wayan Jetan yang mengetahui anaknya hidup cukup di Desa Melaya, menitipkan adiknya Nyoman Kunul untuk tinggal bersamanya. Namun, tragedi Gestok telah mengantarkan Pak Gredek menjadi target pembunuhan.

“Bli tidak akan bisa hidup dengan meninggalkan orang yang telah memberi kehidupan kepada bli dan keluarga bli. Mati tidak lebih buruk dari pada menjadi manusia yang menutup mata terhadap budi kebaikan orang.” Kata Wayan Jetan.

Ia melanjutkan, “Tapi bli minta maaf. Karena ini memuat bli tidak bisa merawat anak-anak dan membebankan semua tanggungjawab ke nyai.”

Hanya isak tangis yang terdengar dari bilik sederhana itu. Tangis istri dan adik juga anak-anak Wayan Jetan yang sepertinya mulai mengerti apa yang dibicarakan oleh orang tua mereka.

Malam berlalu bersama keheningan menuju subuh yang mencekam. Kentongan bertalu mengisyarakat kepada semua warga untuk berkumpul di pura desa subuh itu juga. Setelah semua warga berkumpul di Jaba Tengah pura, para aktivis memerintahkan kepada mereka yang akan dieksekusi mati masuk ke-Jeroan untuk melakukan persembahyangan terakhir. Pada saat persembahyangan itulah, pedang menyambar kesana kemari memisahkan badan dengan kepala. Jerit kesakitan mengiringi tari kematian di bawah padmasana pura pada subuh menjelang pagi hari di Desa Melaya kala itu.

Air mataku menetes setelah mendengar kisah ini dari nenek. Namun dibalik semua itu, aku merasa bangga. Aku bangga karena ternyata aku adalah cucu dari seorang pria pemberani dan memiliki loyalitas menyaingi keberanian dan kesetiaan mereka yang disebut pahlawan oleh bangsa ini.

TAMAT

About komangakg

Komang AKG adalah seorang guru TIK yang gemar menulis cerpen, essay dan bermain catur.
This entry was posted in Cerpen. Bookmark the permalink.

4 Responses to Cerpen: Gestok dan Loyalitas Seorang Pria

  1. Kadek Rasmana says:

    Kisah menarik dan mengharukan bagian dari drama tragedi gestok yang merupakan satu dari sekian peristiwa kelam bangsa ini..
    Yang impact-nya mungkin terkait dengan kejadian-kejadian bencana bangsa saat ini…

  2. Salim Muawiyah says:

    Agak membingungkan. PKI dimusuhi–dan kemudian dibantai secara massal–biasanya karena di desa-desa, para anggota PKI atau BTI ini memusuhi tuan tanah dan mendesak agar land-reform sesuai UU Pokok Agraria dilaksanakan. Mendesak agar tanah pribadi yang lebih luas dari ketentuan UU (2,5 ha di Jawa/Bali) dibagikan kepada yang berhak menerima tanah redistribusi itu, misalnya para petani tak bertanah.

    Kemudian terjadi G30S. Lalu tentara menjadikan penculikan dan pembunuhan petinggi AD itu sebagai dalih untuk memberantas PKI/Komunisme/Komunis dan simpatisannya. Gayung bersambut, tuan tanah yang merasa diganggu PKI/BTI dan tuntutan landreformnya ikut membantu pembantaian massal itu.

    Yang agak mengherankan, bagaimana dalam cerpen ini, justru kaum tuan tanah, seperti Pak Gredek yang jadi korban.

    Hal yang kedua, cerpen ini kelihatannya masih mengikuti pada pola pemikiran bahwa pembantaian massal 1965 itu banyak membawa korban salah sasaran: mereka yang bukan komunis, anggota PKI, simpatisan PKI ikut jadi korban. Seolah-olah, kalau mereka komunis betulan, anggota PKI, dan benar-benar simpatisan PKI, atau aktivis BTI boleh dan layak jadi korban.

    Kurang tergambar di cerpen ini, bagaimana sebetulnya latar belakang sosial/kultural di Desa Melaya. Siapa sedang bertarung dengan siapa, dan siapa yang kemudian jadi korbannya.

    Cerpen ini juga belum memisahkan antara tafsir pencerita dengan apa yang terjadi. Misalnya, bahwa keputusan dalam rapat “…jelas dikatakan bahwa target pembunuhan mereka adalah orang-orang kaya dan para tuan tanah. Tujuannya adalah untuk menjarah kekayaan serta tanah mereka setelah mereka tewas dieksekusi.” Tidak mungkin tujuan kejahatan ini disampaikan dalam rapat terbuka di banjar.

    Lagi-lagi, membingungkan bahwa targetnya adalah tuan tanah. Bukankah tuan-tuan tanah yang justru mensponsori pemberantasan komunisme di desa-desa, supaya kepemilikan tanahnya yang luas dan melanggar undang-undang itu tidak diganggu-gugat oleh para aktivis PKI/Komunis?

    Di luar itu semua, cerpen ini adalah sebuah catatan sejarah yang penting.

  3. komangakg says:

    Mengenai kritikan terhadap pola penulisan cerpen yg tidak sesuai kaidah saya berterimakasih karena itu menjadi masukkan bagi saya.
    Saya disini lebih fokus pada cerita ulang apa yang disampaikan nenek saya kepada saya (waktu saya mengunjunginya di Bali 10 tahun yang lalu).
    Oya, tujuan pembunuhan yang bermotif pembersihan PKI di Desa Melaya saat itu memang berbeda dengan di daerah lain. Tujuan utama para aktivis saat itu adalah menguasai tanah para tuan tanah. Sebagian aktivis itu justru adalah pekerja di tanah-tanah tuan tanah yang dieksekusi. Setelah peristiwa itu terjadi perebutan tanah disana (mengenai hal ini saya mendapat cerita dari mereka lari dari melaya setelah perebutan itu).
    Kalau membutuhkan sejarah tentang ini, silahkan datang ke pulau Nusa Ceningan (Klungkung-Bali) banyak saksimata yang masih hidup termasuk nenek saya. Sebagian juga ada yang transmigrasi di Sulawesi bersama orang tua saya.
    Tapi, terimakasih kritiknya untuk saya belajar menulis sesuatu yg layak disebut cerpen.

Leave a comment